Mengungkap Alasan Johanis Tanak Ingin Menghapus OTT di KPK

portal kabar – Calon Pimpinan KPK, Johanis Tanak, mengungkapkan rencananya untuk menghapus operasi tangkap tangan (OTT) jika terpilih sebagai Ketua KPK. Pernyataan ini disampaikan saat ia menjalani uji kelayakan dan kepatutan di hadapan Komisi III DPR RI di Senayan, Jakarta, pada Selasa (19/11/2024).

Johanis Tanak, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, berpendapat bahwa istilah OTT tidak tepat. Ia menjelaskan bahwa istilah “operasi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merujuk kepada tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter. Sedangkan definisi “tertangkap tangan” menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah peristiwa yang terjadi secara langsung tanpa perencanaan.

Ia menyatakan bahwa selama menjabat di KPK, ia mengikuti tradisi yang telah ada di lembaga antirasuah tersebut, dan menganggap penerapan OTT saat ini tidak sesuai.

“Kami menjalankan peraturan yang berlaku, bukan berdasarkan logika,” ujarnya.

Sementara itu, mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menilai pernyataan Johanis Tanak berpotensi berbahaya bagi masa depan pemberantasan korupsi. Ia tidak sependapat dengan Johanis, mencatat bahwa OTT adalah metode yang efektif untuk menangkap para koruptor yang sedang melakukan transaksi suap dengan barang bukti.

“Koruptor akan merasa senang jika OTT dihapus,” tegas Yudi di Jakarta, Rabu (20/11/2024).

Yudi menjelaskan bahwa penangkapan koruptor dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu penyelidikan terhadap kasus yang telah terjadi dan penangkapan saat tertangkap tangan. Jika OTT dihilangkan, KPK akan kehilangan salah satu instrumen penting dalam pemberantasan korupsi.

Portal Kabar  Menilai Pembagian Jabatan di DPR: Keseimbangan atau Dominasi?

Ia menambahkan bahwa dasar hukum OTT telah jelas dan diatur dalam kewenangan KPK sesuai dengan KUHAP. Meskipun penerapan OTT telah menjadi lebih jarang, Yudi berpendapat bahwa metode ini masih sangat diperlukan dalam upaya memberantas korupsi.

Menurut Pasal 1 Angka 19 KUHAP, terdapat empat kondisi di mana seseorang dapat disebut tertangkap tangan: pertama, ketika seseorang tertangkap saat melakukan tindak pidana; kedua, segera setelah tindak pidana dilakukan; ketiga, ketika seseorang tertangkap setelah dikenal publik sebagai pelaku; dan keempat, jika ditemukan barang bukti pada pelaku yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana.

“Karena itu, tidak mungkin OTT dihapuskan. Jika DPR menghapusnya saat merevisi UU KPK, ini akan menegaskan bahwa KPK tidak dapat melakukan OTT,” tambah Yudi.

Yudi tidak mempermasalahkan strategi Johanis Tanak yang berusaha menarik perhatian Komisi III, yang akan memilih lima calon berdasarkan suara terbanyak untuk menjadi pimpinan KPK. Namun, ia berharap DPR memahami strategi tersebut.

Ia meyakini bahwa Komisi III mencari pimpinan KPK yang memiliki visi dan misi dalam memberantas korupsi untuk mencapai Indonesia Emas 2045, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan pencegahan korupsi melalui perbaikan sistem, digitalisasi, dan penegakan hukum yang tegas.

Portal Kabar  86 Kepala Daerah Ikuti Retret di IPDN: Membangun Kebersamaan untuk Kemajuan Nasional

“OTT adalah salah satu instrumen penegakan hukum yang tegas,” ujarnya.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat), Zaenur Rohman, menilai bahwa Johanis Tanak terlihat berusaha mengambil hati anggota Komisi III DPR RI untuk mendukungnya sebagai Pimpinan KPK. Ia berpendapat bahwa ide Johanis untuk menghapus OTT bertentangan dengan KUHAP dan sangat keliru.

Zaenur menegaskan bahwa OTT sesuai dengan KUHAP, yang menyatakan bahwa tangkap tangan dilakukan segera setelah tindak pidana terjadi. Ia juga mengungkapkan bahwa KPK melakukan OTT setelah mendapatkan informasi tentang transaksi suap yang akan terjadi.

Ia menjelaskan bahwa istilah “operasi” adalah istilah populer, sedangkan istilah hukumnya adalah “tangkap tangan” sesuai KUHAP.

Zaenur menambahkan bahwa jika pencegahan dilakukan sebelum terjadinya suap, pelaku dapat membatalkan rencana tersebut. Ia menegaskan bahwa upaya untuk membongkar praktik suap dapat terganggu jika OTT dihapus.

Menurut Zaenur, ide Johanis Tanak untuk menghapus OTT adalah salah satu bentuk pemikiran yang keliru dan hanya bertujuan untuk menyenangkan anggota DPR. Ia mengingatkan bahwa anggota DPR adalah kelompok yang paling takut terkena OTT, karena banyak yang diduga terlibat dalam praktik suap.

“Jika ide ini diterapkan, KPK akan kehilangan daya lebih dalam pemberantasan korupsi,” ujar Zaenur.

Portal Kabar  Skandal Suap PAW DPR: Siapa Saja yang Terlibat dalam Kasus Hasto dan Donny?

Senada dengan Zaenur, pakar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, juga menilai pernyataan Johanis Tanak sangat keliru. Menurutnya, meskipun KPK masih menerapkan OTT, lembaga ini telah mengalami penurunan efektivitas setelah revisi UU KPK pada 2019.

“Indeks persepsi korupsi turun dari 38 menjadi 34, stagnan,” ungkap Castro.

Castro menilai bahwa pendekatan pencegahan KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri tidak efektif, sehingga ide Johanis Tanak untuk menghapus OTT sangat tidak tepat.

Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menilai pernyataan Johanis Tanak tidak mengejutkan mengingat kondisi KPK selama masa kepemimpinannya, di mana terdapat catatan minim prestasi dalam pengungkapan kasus korupsi.

Ia mengkhawatirkan bahwa pernyataan Johanis Tanak akan mengganggu adopsi praktik OTT oleh instansi lain yang melakukan pemberantasan kejahatan di tingkat internasional.

“OTT adalah pintu masuk untuk mengungkap kejahatan yang lebih serius,” tegas Lakso.

Lebih lanjut, ia menilai pernyataan Johanis Tanak menjadi ujian bagi DPR dan presiden untuk tidak mengulangi kesalahan pemilihan KPK sebelumnya. Lakso mengingatkan bahwa jika DPR melakukan hal yang sama, hal itu tidak akan mengejutkan publik, tetapi jika DPR merealisasikan perubahan yang dijanjikan, itu akan menjadi warisan bagi pemerintahan baru Indonesia.

Sumber Tirto/pram