Efek Pajak Baru: Meningkatkan Pendapatan Daerah atau Membebani Masyarakat?

portal kabar – Pemerintah Indonesia akan meluncurkan perubahan signifikan dalam sistem perpajakan yang akan mulai berlaku pada awal Januari 2025. Tidak hanya menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang baru sebesar 12 persen, tetapi juga memperkenalkan pajak tambahan (opsen) untuk kendaraan bermotor. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), opsen ini efektif mulai 5 Januari 2025, hanya empat hari setelah penerapan tarif PPN yang baru.

Dalam Modul Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), ada tiga jenis opsen yang akan diterapkan tahun depan, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Khusus untuk kendaraan bermotor, dua pajak yang akan berlaku adalah PKB dan BBNKB.

“Dampaknya pasti akan menaikkan harga,” ungkap Anton Jimmi Suwandy, Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor, dilansir dari Tirto pada 20 Desember 2024.

Dengan desentralisasi fiskal yang diterapkan sejak 2022, setiap Pemerintah Daerah (Pemda) kini memiliki kewenangan untuk menentukan tarif opsen PKB melalui Peraturan Daerah (Perda), sehingga tarif opsen dapat bervariasi antar daerah. Sebagai contoh, Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menetapkan tarif pajak kendaraan bermotor sebesar 0,9 persen dari dasar pengenaan pajak yang mulai berlaku pada 5 Januari 2025.

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten/Kota di DIY mengenakan pungutan opsen sebesar 66 persen dari pajak yang dikenakan oleh Pemda DIY, yang berarti total pajak yang harus dibayar oleh pemilik kendaraan mencapai 1,5 persen dari dasar pengenaan pajak. Sementara itu, di Jawa Timur, tarif PKB untuk tahun depan ditetapkan sebesar 1,2 persen, menurun dari sebelumnya 1,5 persen, dan tarif BBNKB juga mengalami penurunan dari 12,5 persen menjadi 12 persen. Untuk Balik Nama Kendaraan Bermotor atas Penyerahan kepemilikan kedua, tarifnya menjadi gratis.

“(Kenaikan harga kendaraan) bervariasi karena setiap daerah berbeda-beda, kami masih menunggu angka final. Ada yang tidak naik, tetapi ada juga yang naik tinggi, seperti di Jawa Barat, di atas 7 persen,” tambah Anton.

Meskipun berharap pasar tetap tumbuh, Anton mengungkapkan kekhawatirannya bahwa penerapan opsen pajak dan PPN 12 persen secara bersamaan dapat berdampak negatif pada industri otomotif. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah daerah dapat bijaksana dalam menetapkan tarif opsen PKB dan BBNKB. “Pasar diharapkan tetap naik, tentu dengan catatan opsen akan direview atau ada insentif untuk membantu industri otomotif nasional,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), Sigit Kumala, memproyeksikan penjualan kendaraan roda dua pada 2025 sebesar 6,4-6,7 juta unit, naik dibandingkan target 2024 yang berada di angka 6,3-6,4 juta unit. Namun, jika tanda-tanda pelemahan daya beli masyarakat mulai terlihat akibat opsen dan PPN 12 persen, target tersebut mungkin akan direvisi.

Portal Kabar  dr Asep Tinggalkan Partai Golkar, Dani Ramdan Siap Maju dan Cocok Memakai Uniform Partai Buruh

“Setelah ada (opsen), kami akan melihat kondisinya selama 1-2 bulan. Dari Dispenda, ada yang mau menerapkan tarif sesuai Undang-Undang (HPP), tetapi ada juga yang memberikan insentif. Jadi, dasar pengenaannya bisa berkurang,” ujarnya.

Sigit berharap agar Pemda di seluruh Indonesia segera menerbitkan Perda terkait tarif opsen. Ini penting untuk memberikan kepastian terhadap target produksi di tahun depan. “Ini baru yang terdengar dari Dispenda Jatim dan beberapa provinsi. Kami belum tahu bagaimana dengan daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara, yang merupakan pasar besar penjualan sepeda motor,” tambahnya.

Namun, Sigit tetap optimis terhadap penjualan sepeda motor di luar Pulau Jawa, karena ia melihat konsumsi masyarakat di sana masih akan tumbuh seiring dengan lonjakan harga komoditas seperti sawit, batu bara, dan bahan tambang lainnya.

Sebagai informasi, pada kuartal III 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga tumbuh 4,91 persen secara tahunan, meskipun lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun 2023 yang mencapai 4,95 persen. Secara kuartalan, konsumsi rumah tangga nasional juga mengalami kontraksi 0,48 persen, berbanding terbalik dengan pertumbuhan 3,12 persen pada kuartal sebelumnya.

“Harapannya banyak Pemda yang memberikan insentif. Jika tidak, industri akan meredup, dan setoran pajaknya juga tidak akan tercapai,” kata Sigit.

Sama halnya dengan penetapan tarif PPN 12 persen sebagai amanat UU HPP, Pemda juga memiliki kewajiban untuk menetapkan opsen PKB dan BBNKB tahun depan. Jika tidak, jelas melanggar ketetapan yang telah diatur dalam UU HKPD. Dengan disahkannya UU HKPD pada 5 Januari 2022, Pemda paling lambat harus menerapkan opsen pajak pada 5 Januari 2025, dua tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan.

Kepala Seksi Kerja Sama dan Humas Kanwil DJP Jawa Timur II, Karsita, mengungkapkan pentingnya sosialisasi dan persiapan Peraturan Daerah (Perda) oleh pemerintah daerah (Pemda) terkait aturan baru yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Daerah (UU HKPD) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan hanya tinggal beberapa tahun menuju 2025, banyak Pemda yang masih belum meluncurkan aturan turunan yang diperlukan.

“Mau tidak mau, Pemda harus melaksanakan ini. Terkait batas maksimal dalam HKPD dan perbandingannya di PDRD, diatur bahwa tidak boleh lebih dari ketentuan yang ada. Pajak yang diatur masih terbatas pada satu jenis, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) atau Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB),” jelasnya pada Jumat (20/12/2024).

Portal Kabar  DPR 2024-2029: Lebih Banyak Dinasti, Lebih Sedikit Suara Rakyat

Dalam konteks ini, opsen berfungsi sebagai pembagi dari pajak kendaraan bermotor yang dibayarkan langsung oleh wajib pajak kepada Pemda, khususnya pemerintah kabupaten/kota. Hal ini menciptakan perbedaan jelas antara PKB dan BBNKB yang masih berlaku saat ini.

“Misalnya, di Jawa Timur, banyak kepemilikan kendaraan di Surabaya. Akibatnya, Surabaya menerima setoran pajak yang besar, meskipun kendaraan tersebut beroperasi di jalan provinsi. Jika Pemda tidak menetapkan Perda, maka opsen tidak dapat diterapkan,” tegas Karsita.

Di sisi lain, keberadaan opsen diharapkan dapat memperluas basis penerimaan pajak daerah, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat meningkat. Namun, Karsita mengakui bahwa peningkatan pendapatan daerah sangat bergantung pada seberapa banyak pajak atau wajib pajak yang berhasil dijaring.

“Dulu, penerimaan dari PKB dikumpulkan secara provinsi dan kemudian dibahas dalam rapat untuk menentukan berapa yang diterima oleh masing-masing daerah. Semua itu diputuskan oleh Pemda. Namun, sekarang, melalui UU HKPD, mekanisme tersebut telah berubah,” sambungnya.

Menanggapi kebijakan baru ini, opsen yang akan diterapkan tahun depan dianggap sebagai kebijakan baru, tetapi sebenarnya tarif efektif pajak tambahan ini masih merujuk pada ketentuan yang telah ada sebelumnya dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRB, yang akan berakhir pada 31 Desember 2024.

Sebagai contoh, penghitungan PKB terutang berdasarkan UU HKPD ditetapkan sebesar 1,1 persen. Jika Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) adalah Rp30 juta, maka tarif PKB yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah Rp330 ribu. Berdasarkan UU PDRB, tarif opsen PKB ditetapkan sebesar 66 persen. Sehingga, tarif opsen yang diterapkan adalah Rp217.800, dan total pajak yang harus dibayar menjadi Rp547.800.

Karsita menyatakan bahwa total tarif efektif opsen ini tidak jauh berbeda dari PKB terutang sebelumnya. Dalam UU yang masih berlaku, tarif PKB adalah 1,8 persen, sehingga pajak yang disetor kepada Pemda adalah Rp540 ribu, hanya berselisih Rp7 ribu dari ketentuan baru.

“Seharusnya tidak ada keberatan dari masyarakat, kecuali pada pajak yang saya tangani, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang memang mengalami kenaikan signifikan. Apalagi ini tidak memiliki efek pengganda, kecuali untuk pembelian kendaraan baru yang dikenakan pajak baru. Untuk kendaraan lama, saya rasa tidak ada dampak berarti,” tegasnya.

Portal Kabar  Sri Mulyani dan Prabowo: Ketegangan di Balik Kebijakan Pajak Baru

Pandangan ini juga didukung oleh Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Ruben Hutabarat, yang menyatakan bahwa opsen pajak seharusnya tidak menambah beban pajak masyarakat karena total pajak sebelum dan sesudah opsen tetap sama.

“Opsen pajak seharusnya tidak menambah beban pajak masyarakat karena jumlah total pajak sebelum sama dengan jumlah total setelah opsen,” ungkapnya.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Ia mengingatkan bahwa meskipun diharapkan dapat menambah PAD, penerapan opsen sebesar 66 persen berpotensi membebani masyarakat dan industri otomotif, terutama dalam konteks tantangan ekonomi global yang tengah dihadapi.

“Meskipun tarif PKB dan BBNKB akan diturunkan oleh pemerintah provinsi, tambahan opsen ini tetap memunculkan kekhawatiran bahwa masyarakat akan merasakan kenaikan beban pajak secara keseluruhan, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah dan menengah,” ujarnya.

Bagi masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, kendaraan bermotor sering kali menjadi kebutuhan primer untuk mendukung kegiatan ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjamin bahwa total pajak yang dibayarkan tetap dalam batas yang wajar dan tidak memberatkan kelompok rentan.

Sementara itu, bagi industri otomotif, yang merupakan salah satu sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, kebijakan fiskal seperti opsen berpotensi mengurangi pendapatan industri. Hal ini bisa disebabkan oleh berkurangnya minat konsumen untuk membeli kendaraan baru.

“Jika penerapan opsen ini menyebabkan total pajak kendaraan baru menjadi lebih tinggi, maka permintaan terhadap kendaraan bermotor, terutama kendaraan baru, dapat terpengaruh. Ini dapat berdampak pada kinerja industri otomotif, mulai dari produsen hingga dealer, serta rantai pasokannya,” tambah Achmad.

Dengan demikian, penerapan opsen harus disertai dengan mekanisme pengawasan dan evaluasi yang jelas. Pemerintah kabupaten/kota perlu memastikan bahwa tambahan pendapatan dari opsen pajak digunakan secara efisien untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

“Selain itu, evaluasi berkala harus dilakukan untuk menilai dampak kebijakan terhadap daya beli masyarakat dan kinerja sektor otomotif. Jika ditemukan bahwa kebijakan ini memberatkan salah satu pihak, maka pemerintah harus siap melakukan penyesuaian,” tegas Achmad.

Kesuksesan kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam memastikan bahwa masyarakat tidak terbebani dan industri otomotif tetap bisa berkembang. Karena itu, transparansi, keadilan, dan fleksibilitas dalam implementasi kebijakan ini menjadi kunci untuk mencapai tujuan tanpa menciptakan masalah baru.

“Pemerintah juga perlu menjaga keseimbangan antara meningkatkan pendapatan daerah dan memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional,” tutupnya.

pram/Sumber Tirto