Partisipasi Publik dalam Pembahasan UU: Antara Harapan dan Kenyataan

portal kabar – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ingin membuat cara baru untuk membahas undang-undang. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan rencana ini sedang dibahas dan akan dijelaskan lebih lanjut setelah masa reses.

“Tunggu saja setelah reses,” kata Dasco kepada wartawan.

Dasco belum bisa memberikan rincian lebih lanjut tentang rencana baru ini. Namun, dia menekankan bahwa rencana baru ini akan lebih melibatkan masyarakat dalam proses pembahasan undang-undang.

DPR sering mendapat kritik karena pembahasan undang-undang dilakukan dengan cepat dan tidak transparan. Salah satu contohnya adalah pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup di hotel mewah. Banyak masyarakat yang meminta agar UU TNI yang sudah disahkan dicabut.

Tindakan DPR ini mengabaikan peran penting partisipasi publik yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Undang-undang ini memperluas partisipasi masyarakat pada semua tahap, mulai dari perencanaan hingga pengundangan.

Portal Kabar  Kualitas vs Kecepatan: Apa Kata Sunandar tentang Jurnalis Masa Kini

Pengajar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan bahwa DPR tidak boleh membuat aturan baru tentang partisipasi publik tanpa melibatkan masyarakat. Ruang untuk masyarakat harus tetap ada, meskipun rencana baru ini bertujuan untuk memperkuat partisipasi.

“Lucu kalau membuat aturan tentang partisipasi tetapi tidak melibatkan masyarakat,” ujar Hamzah.

Dia juga mempertanyakan bagaimana rencana baru ini akan dilaksanakan, karena perubahan UU P3 yang dimaksudkan untuk memperkuat partisipasi justru bisa digunakan untuk mendukung undang-undang yang tidak partisipatif.

Hamzah melihat bahwa pasal tentang partisipasi publik di UU P3 masih lemah. Artinya, jika partisipasi publik diabaikan, tidak ada konsekuensi hukum bagi pembuat undang-undang.

Dia menyarankan agar aturan tentang partisipasi masyarakat dibuat wajib. Jika partisipasi tidak dilakukan, seharusnya undang-undang itu dibatalkan. Selama ini, partisipasi hanya dianggap sebagai formalitas.

Portal Kabar  86 Kepala Daerah Ikuti Retret di IPDN: Membangun Kebersamaan untuk Kemajuan Nasional

Partisipasi tidak boleh hanya diartikan sebagai mengundang masyarakat untuk sosialisasi atau rapat. Menurut Hamzah, partisipasi yang berarti harus melibatkan warga dalam proses pembuatan undang-undang.

Partisipasi publik masih didominasi oleh elit politik sehingga terlihat hanya sebagai akal-akalan.

“Kenapa tidak buat saja aturan alternatif tentang partisipasi publik? Semua produk hukum yang tidak melalui proses partisipasi publik harus dianggap cacat dan bisa dibatalkan,” usulnya.

Sementara itu, Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia merasa usulan DPR tentang pembahasan undang-undang membingungkan dan mengkhawatirkan. Jika ide ini muncul sebagai tanggapan atas kritik publik, maka DPR seolah mengatakan bahwa kurangnya partisipasi adalah kesalahan dari aturan yang ada.

Portal Kabar  Habiburokhman Yakin, Revisi KUHAP 2026 Akan Ciptakan Perlindungan Hak Tersangka

Dengan kata lain, kurangnya partisipasi dalam pembahasan revisi UU TNI bukanlah kesalahan DPR atau Pemerintah, tetapi kesalahan dari aturan yang mengatur pembuatan undang-undang.

Lucius mengatakan, DPR seharusnya tidak menyalahkan aturan, karena aturan tentang mekanisme pembuatan undang-undang sudah diubah dua kali, yaitu dari UU nomor 12 tahun 2011 menjadi UU 13/2022.

Aturan tentang pelibatan publik sudah cukup jelas, termasuk informasi, draf, sosialisasi, dan rapat dengar pendapat. Jadi, DPR seharusnya memahami masalah ini dengan baik.

Alih-alih memperbaiki partisipasi publik, ide baru tentang pembahasan undang-undang justru bisa membatasi ruang partisipasi publik lebih lanjut.

“Jika proses legislatif dikritik karena kurang partisipasi, itu bukan karena aturannya tidak ada. Masalahnya ada pada DPR yang memilih untuk mengabaikan aturan demi kepentingan politik,” tegas Lucius.

MA/Sumber Tirto