portal kabar – Dalam ranah hukum tata negara, pemisahan waktu pemilu nasional dan daerah memunculkan polemik baru di kalangan politisi dan akademisi. Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menegaskan bahwa satu-satunya lembaga yang berhak menginterpretasikan putusan mengenai isu ini adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan Feri tersebut adalah respons terhadap langkah Partai NasDem yang berupaya meminta MPR RI untuk memberikan penafsiran, atau yang dikenal sebagai original intent, terkait putusan MK.
“Yang berhak menafsirkan secara konstitusional, apakah menggunakan original intent atau kontekstual intent, itu adalah Mahkamah Konstitusi. Para politisi itu punya tafsirnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan politiknya,” ujar Feri dilansir dari Tirto pada Selasa (8/7/2025). Dirinya menggarisbawahi bahwa lembaga peradilan, khususnya MK, memiliki mandat untuk menilai apakah suatu putusan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, baik dari segi rumusan pasal maupun konteks kekinian.
Lebih jauh, Feri menjelaskan bahwa putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tidak menghilangkan pelaksanaan pemilu yang diadakan lima tahun sekali. Menurutnya, keputusan tersebut justru menambahkan jarak waktu antara pemilu nasional dan daerah, dan sebagai bagian dari proses transisi, adalah wajar bila dibutuhkan waktu tersebut. Ia mengingatkan, pemilu di tahun 1999 pun mengalami fase transisi.
Sisi lain, Titi Anggraini, pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), juga berpendapat bahwa kritik terhadap putusan MK adalah hal yang wajar dan diperlukan untuk menjaga kesehatan demokrasi. “Namun, tiap kritik harus dilakukan dalam koridor konstitusi.”
Menurut Titi, elite politik harus menjadi teladan dalam mematuhi hukum dan konstitusi. Dia memandang bahwa perdebatan mengenai putusan MK harus lebih fokus pada langkah konkret untuk memastikan pemilu 2029 dan 2031 terlaksana dengan baik dan diatur melalui peraturan yang kredibel.
Partai NasDem sendiri, melalui Ketua DPP Willy Aditya, berupaya mendorong MPR untuk menafsirkan putusan MK yang mereka anggap membawa potensi deadlock konstitusional. “Kami ingin MPR memberikan original intent dari apa yang sudah diputuskan oleh MK,” ungkap Willy.
pram
