portal kabar – Koalisi masyarakat sipil resmi menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka khawatir, aturan baru ini malah melemahkan hak asasi manusia, membuka jalan kembalinya dwifungsi militer, dan membatasi kebebasan berekspresi di ruang digital.
Sidang perdana uji materi digelar MK pada Selasa siang, 4 November 2025, dengan nomor perkara 197/PUU-XXIII/2025. Gugatan ini diajukan oleh Mochamad Adli Wafi lewat kuasa hukum Daniel Winarta, bersama berbagai elemen masyarakat sipil lainnya seperti Imparsial dan AJI.
Ada empat poin utama yang mereka persoalkan. Pertama, keterlibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Aturan baru memperluas tugas TNI sampai ke urusan keamanan siber dan penanganan konflik sosial. Menurut pemohon, ini berbahaya untuk kebebasan berpendapat, termasuk kritik di media sosial, dan melanggar batasan OMSP dalam konstitusi.
Kedua, soal hilangnya fungsi check and balance dari DPR. UU baru ini dianggap menyingkirkan peran DPR dalam mengawasi pelaksanaan OMSP, padahal DPR seharusnya mengontrol kebijakan pertahanan.
Ketiga, aturan yang membolehkan prajurit aktif mengisi jabatan sipil strategis seperti di Sekretariat Presiden, Kejaksaan, sampai BNN. Pemohon menilai, ini membuka peluang dwifungsi ABRI kembali, dan bisa mengancam supremasi sipil serta independensi penegak hukum.
Keempat, soal penambahan usia pensiun perwira tinggi. Ketentuan ini dinilai diskriminatif dan menutup peluang regenerasi buat perwira muda.
Dalam sidang, hakim konstitusi Saldi Isra memberikan beberapa catatan. Ia meminta pemohon memperjelas bagian norma undang-undang yang dianggap bertentangan dengan semangat reformasi, dan menguatkan logika petitum agar permohonan lebih solid.
Majelis hakim juga menyorot soal legal standing pemohon, meminta kejelasan hubungan antara pasal yang diuji dengan potensi pelanggaran konstitusi yang dialami pemohon.
Sidang uji materi UU TNI ini bakal berlanjut ke agenda perbaikan permohonan.
pram
