Opini | Endra Kusnawan
Penulis merupakan praktisi CSR
portal kabar – Di atas kertas, Bekasi adalah salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia. Ribuan perusahaan berdiri gagah di kawasan ini dari pabrik multinasional hingga perusahaan lokal yang menopang ekonomi nasional. Tapi di balik geliat produksi dan keuntungan besar itu, ada kenyataan ironis: hampir semua perusahaan di Bekasi menutup mata terhadap tanggung jawab sosial mereka.
Data dari Bappeda Kabupaten Bekasi menunjukkan bahwa dari sekitar 11.000 perusahaan, hanya 31 yang melaporkan pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) pada tahun 2024. Angka yang bahkan tak menyentuh 1 persen. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan bentuk pengingkaran terhadap amanat undang-undang dan, lebih dalam lagi, terhadap tanggung jawab moral pada masyarakat sekitar.
Padahal, regulasi yang mengatur CSR sudah sangat jelas. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menegaskan bahwa perusahaan yang tidak melaksanakan CSR dapat dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha. Tapi faktanya, sanksi itu nyaris tidak pernah diterapkan. Pemerintah daerah sering kali memilih jalan lunak: membiarkan. Akibatnya, CSR berubah dari kewajiban menjadi sekadar jargon.
Ironinya, banyak perusahaan yang justru menggunakan CSR sebagai alat pencitraan. Mereka membuat spanduk besar saat membagikan sembako setahun sekali, lalu mengklaim telah “berkontribusi” untuk masyarakat. Padahal di sisi lain, limbah pabrik mereka mencemari lingkungan, tenaga kerja lokal diabaikan, dan ruang sosial di sekitar kawasan industri kian sempit.
Di titik ini, tanggung jawab tidak hanya ada di tangan perusahaan. Pemerintah daerah pun perlu berani menegakkan sanksi sebagaimana diatur undang-undang. Jika perusahaan enggan menjalankan CSR, jangan segan memberi peringatan bahkan mencabut izin usaha. Ketegasan adalah bentuk keberpihakan pada publik, bukan pada korporasi.
CSR seharusnya bukan formalitas, tapi wujud nyata kemitraan sosial antara dunia usaha dan masyarakat. Tanpa itu, perusahaan di Bekasi akan terus tumbuh di atas ketimpangan sosial yang mereka biarkan sendiri. Dan selama negara diam, regulasi hanyalah teks tanpa makna undang-undang yang mandul di tengah rak industri yang makmur tapi abai.
pram
