portal kabar – Dalam sebuah pernyataannya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, menyerukan agar hakim menjatuhkan vonis berat terhadap pelaku korupsi. Pernyataan ini dilontarkan sebagai respons terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) terhadap vonis mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP).
Johanis menekankan pentingnya penegakan hukum yang ketat terhadap korupsi, sebuah kejahatan luar biasa yang telah merugikan negara dan rakyat. “Negara telah mengupayakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan ancaman hukuman yang berat, termasuk pidana mati. Ini dilakukan agar uang rakyat tidak dikorupsi oleh individu-individu yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok,” jelas Johanis.
Dia juga mengingatkan bahwa korupsi harus ditangani dengan serius, baik dalam proses penyelidikan maupun penuntutan. “Kita perlu menggugah perasaan hakim agar memikirkan juga bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan yang sangat luar biasa sehingga penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa pula,” tambahnya.
Johanis mencerminkan rasa frustrasinya terhadap pengurangan hukuman bagi Setya Novanto dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara yakni pada PK yang diputuskan oleh MA. Ini menimbulkan segala macam reaksi, terutama mengingat posisi Novanto sebagai mantan Ketua DPR yang dinilai sangat merugikan keuangan negara dalam proyek e-KTP yang berjumlah fantastis.
Pandangan Kontradiktif dari Tim Hukum Novanto
Sementara itu, pengacara Setnov, Maqdir Ismail, menyatakan bahwa MA seharusnya membebaskan kliennya, bukannya hanya mengurangi hukuman. Menurut Maqdir, Setnov tidak memiliki kewenangan dalam pengadaan proyek dan seharusnya tidak difatwakan untuk melanggar UU Tipikor terkait delik merugikan keuangan negara. “Dia didakwa dengan Pasal yang salah. Dakwaan yang paling tepat adalah suap,” keluhnya.
Berdasarkan putusan terakhir, Setnov masih dihukum membayar uang pengganti dan akan dicabut haknya untuk menduduki jabatan publik selama dua tahun dan enam bulan setelah menyelesaikan masa hukuman. Putusan ini kembali mengundang perdebatan di kalangan masyarakat dan pemerhati hukum terkait keadilan dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia.
Dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang jauh tertinggal dibandingkan Singapur, dalam laporan terbaru, Indonesia meraih 37 poin sementara Singapura mencapai 84 poin, pernyataan Johanis seakan menjadi panggilan untuk meningkatkan kesadaran dan penegakan hukum terhadap tindakan korupsi.
Menghadapi Kejahatan Korupsi
Sebagai penutup, Johanis menekankan pentingnya keberanian hakim untuk mengeluarkan vonis yang dapat memberikan efek jera kepada pelaku korupsi dan melindungi keuangan negara. “Kita perlu mencontoh sikap hakim di Singapura yang berani memberikan sanksi berat terhadap pelaku korupsi. Ini penting agar masyarakat merasa aman dan percayakan pada sistem hukum kita,” tutup Johanis.
pram
