Menimbang Metode Kodifikasi vs. Omnibus Law dalam Revisi UU Pemilu

portal kabar – Wacana revisi Undang-Undang Pemilu, Partai Politik, dan Pilkada menggunakan metode Omnibus Law kembali diperbincangkan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen.

Pada November lalu, Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy, mengusulkan revisi ini untuk memastikan kepastian hukum dalam sistem pemilu Indonesia. Dia menyatakan bahwa ketidakpastian hukum merugikan banyak pihak, karena satu keputusan bisa berbeda-beda di lembaga yang berbeda.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Doli Kurnia, juga mempertimbangkan penggunaan Omnibus Law untuk merevisi delapan Undang-Undang yang berkaitan dengan sistem politik dan pemilu. Delapan UU tersebut termasuk UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik.

Portal Kabar  Merayakan 60 Tahun Partai Golkar: Refleksi Sejarah dan Tradisi di Kabupaten Bekasi

Wacana ini kembali muncul setelah MK menghapus ambang batas presiden, dan Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, menyatakan bahwa pembahasan UU kepemiluan dengan sistem Omnibus Law mungkin dilakukan.

Azka Abdi Amurrobi dari Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) mengatakan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki Undang-Undang politik dan pemilu, karena banyak ketidakselarasan di dalamnya. Dia memberikan contoh mengenai frasa ‘politik uang’ yang diatur berbeda dalam UU Pilkada dan UU Pemilu.

KISP mengusulkan agar ada perbaikan dan penyelarasan pada tiga UU utama: UU Pilkada, UU Pemilu, dan UU Partai Politik. Azka juga menyarankan bahwa penggabungan UU lebih cocok dilakukan dengan metode kodifikasi daripada Omnibus Law. Kodifikasi berarti menciptakan undang-undang baru yang menghapus undang-undang lama yang tidak lagi berlaku.

Portal Kabar  Menangani Kenakalan Anak: Perspektif Gubernur Lemhanas Ace Hasan Syadzily

Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, setuju bahwa penggabungan paket UU politik dan kepemiluan lebih baik dilakukan dengan kodifikasi. Dia mencatat bahwa pengalaman sebelumnya dengan Omnibus Law Cipta Kerja menunjukkan banyak aturan yang tidak efektif. Arif berharap paket UU ini tidak hanya mengatur pemilu dan DPR, tetapi juga hubungan keuangan antara pusat dan daerah.

Azka juga mengingatkan bahwa dalam penggabungan UU, masyarakat sipil perlu diajak berpartisipasi untuk menghindari konflik kepentingan. Dia mencemaskan bahwa syarat pendirian partai politik dan syarat pencalonan bisa dipersulit.

Arif menekankan pentingnya mengakomodasi putusan MK mengenai ambang batas presiden dan memperhatikan isu pilkada serentak. Dia pesimistis mengenai kecepatan pembahasan, mengingat kepentingan politik yang berbeda di antara partai-partai di DPR.

Portal Kabar  Ketua DPD Golkar: Memecah Belah atau Memperkuat? Realita Dukungan untuk Dani Dipertanyakan

Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, mengatakan bahwa mereka akan segera membahas berbagai isu terkait Omnibus Law Pemilu dan akan menggelar forum diskusi untuk mendengarkan masukan dari masyarakat.

Dengan adanya wacana ini, diharapkan sistem politik di Indonesia bisa lebih baik dan transparan, serta lebih memperhatikan semua lapisan masyarakat.

pram/sumber Tirto