portal kabar – Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengubah Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 terkait Tata Tertib (Tatib) telah menimbulkan gelombang kontroversi yang mencolok. Perubahan ini memberikan DPR kekuasaan baru untuk menilai dan merekomendasikan pemecatan pejabat atau pemimpin lembaga secara berkala, yang dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah untuk memperluas dominasi institusi legislatif tersebut.
Usulan revisi, yang muncul secara mendadak pada 3 Februari 2025 dan disetujui dalam waktu singkat, memicu kekhawatiran yang mendalam di kalangan pengamat hukum dan praktisi demokrasi. Hanya sehari setelahnya, seluruh partai di DPR sepakat untuk mengesahkan perubahan tersebut, menandai sebuah titik balik yang kontroversial dalam kerangka hukum dan demokrasi Indonesia.
Bibitri Susanti, seorang pengajar hukum yang terkenal, berpendapat bahwa DPR seharusnya tidak memiliki kekuasaan untuk menilai pejabat yang telah terpilih. Menurutnya, begitu seorang pejabat melangkah ke posisi tersebut, hubungan mereka dengan DPR seharusnya berakhir. DPR, jelasnya, hanya memiliki kewenangan untuk melakukan uji kelayakan ketika memilih pemimpin di lembaga tertentu, bukan untuk mengevaluasi secara berkelanjutan.
Lebih lanjut, Bivitri menyatakan bahwa perluasan kewenangan ini dapat mengganggu independensi lembaga-lembaga penting lainnya, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi. Dalam pandangannya, sebuah negara hukum seharusnya membatasi kekuasaan, tidak memperluasnya.
Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR, membela keputusan tersebut dengan dalil bahwa pejabat yang tidak layak perlu diganti demi kepentingan publik. Namun, pakar hukum secara konsisten menilai bahwa Tatib DPR tidak bisa dijadikan dasar untuk mencopot pejabat yang secara sah telah terpilih.
Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara, menyebut revisi ini sebagai indikasi ketidakpahaman DPR terhadap aturan yang lebih tinggi. Ia menegaskan bahwa Tatib tidak memiliki kekuatan untuk merubah hukum yang ada.
Arif Maulana dari YLBHI menambahkan bahwa perubahan ini bertentangan dengan konstitusi dan dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan antar lembaga. Ia menekankan bahwa DPR tidak memiliki hak untuk mengevaluasi pejabat yang telah terpilih.
Kholil Pasaribu dari CONSID berargumen bahwa langkah ini bertujuan untuk memperluas kekuasaan DPR dalam mengendalikan lembaga-lembaga lain, dan memperingatkan bahwa langkah ini dapat mengancam stabilitas politik serta hak-hak individu.
Sebaliknya, Bob Hasan, Ketua Badan Legislasi DPR, bersikeras bahwa DPR memiliki tanggung jawab untuk mengevaluasi pejabat yang mereka pilih dan berpendapat bahwa kewenangan ini adalah bagian dari proses akuntabilitas.
Melihat berbagai reaksi yang muncul, perubahan dalam Tatib DPR ini tidak sekadar sebuah regulasi baru. Sebaliknya, mencerminkan ketegangan antara praktik demokrasi yang sehat dan ambisi untuk memperluas kekuasaan institusi legislatif. Dengan kritik yang kuat dari berbagai pihak, pertanyaan mendasar pun muncul: Apakah langkah ini akan membawa dampak positif bagi demokrasi di Indonesia, atau justru sebaliknya?
Sebagai catatan, tantangan ke depan adalah untuk memastikan bahwa setiap perubahan dalam regulasi ini tidak mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
pram/sumber Tirto
