Sengketa Tanah di Tambun Selatan: Antara Kepemilikan dan Keadilan Hukum

portal kabar – Dalam perkembangan terbaru mengenai sengketa tanah yang melibatkan kepemilikan lahan seluas 3,6 hektar di Tambun Selatan, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, melakukan kunjungan langsung ke lokasi dengan harapan memberikan pencerahan dan tindakan konkret dalam kasus yang telah berlarut-larut ini.

Memahami latar belakang sengketa ini sangat penting. Awal cerita bermula pada tahun 1973 ketika seorang bernama Juju menguasai tanah tersebut. Tiga tahun kemudian, pada 1976, Juju menjual tanah kepada Abdul Hamid. Namun, Abdul Hamid total lalai dalam mengurus balik nama sertifikat, sebuah langkah administratif yang kelihatannya sepele, tetapi memiliki dampak hukum yang signifikan.

Portal Kabar  Kejadian Begal di Tamansari: Polisi Tembak Kaki Pelaku yang Melawan

Perluasan drama ini terjadi ketika, pada 1982, Juju menjual tanah yang sama kepada Kayat, yang proaktif dengan langsung mengurus pembuatan empat sertifikat baru. Ketika Abdul Hamid meninggal dan putrinya, Mimi Jamila, mengajukan gugatan terhadap BPN, sebuah pertempuran hukum yang melibatkan pengadilan tertinggi, Mahkamah Agung (MA), pun tak terhindarkan. Mimi akhirnya meraih kemenangan, menuntut agar keputusan MA dieksekusi.

Namun, dua isu kunci muncul di sini: BPN bersikeras bahwa sertifikat yang dikeluarkan kepada Kayat tetap sah tanpa adanya perintah tegas dari MA untuk membatalkannya. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam sistem hukum yang menyangkut penyelesaian sengketa tanah, di mana kejelasan pengadilan dapat menyebabkan kebingungan dalam pelaksanaan eksekusi.

Portal Kabar  Pasangan 'AA' Dapat Nomor 3 Sebagai Paslon Bupati dan Wakil Bupati, Soleman: Ada Tiga Dasar Landasan

Proses selanjutnya mengharuskan Mimi Jamila untuk kembali ke pengadilan guna meminta pembatalan sertifikat yang dikeluarkan ke Kayat. Pascaitu, jika sertifikat tersebut dibatalkan, pengadilan mempunyai tanggung jawab untuk menginformasikan BPN agar eksekusi dapat dilakukan dengan perhatian terhadap lokasi yang sengketa.

Dalam investigasi terakhir, ditemukan fakta mengejutkan; lima lokasi rumah yang telah dieksekusi ternyata berada di luar daerah sengketa. Ini menciptakan situasi yang rumit di mana individu yang tidak terlibat dalam konflik, tetapi menjadi korban dalam proses. Sebagai respons, BPN bertekad untuk berkoordinasi dengan pengadilan dan memastikan isu kemanusiaan dihormati, memanggil mereka yang terlibat untuk membahas ganti rugi bagi para penggusuran.

Kisah di Tambun Selatan ini bukan sekadar cerita tentang tanah. Ia melibatkan hak atas kepemilikan, pertarungan anti-korupsi dalam sistem agraria, dan kebutuhan untuk melindungi hak asasi manusia dalam setiap langkah eksekusi hukum. Ketika konflik seperti ini beranjak menuju penyelesaian, tugas kita sebagai masyarakat sipil adalah memastikan bahwa semua pihak mendapatkan keadilan, dan tidak ada yang terpinggirkan dalam proses hukum yang seharusnya melindungi mereka.

Portal Kabar  Mantan Karyawan PT Hive Five Menang: MA Tolak Kasasi Jaksa dalam Kasus Pencemaran Nama Baik

pram/Ceps