Serangan Fajar: Ketika Pilihan Rakyat Dijual dengan Uang

portal kabar – Praktik politik uang, yang dikenal luas dengan istilah ‘serangan fajar’, telah menjadi fenomena yang umum dan membudaya di Indonesia. Fenomena ini sering muncul dalam dinamika kontestasi politik, terutama dalam gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024.

Para calon kepala daerah (cakada) berupaya meraih suara dengan cara yang tidak jujur. Mereka biasanya membagikan uang atau sembako kepada pemilih sebelum hari pencoblosan, dengan harapan dapat mempengaruhi pilihan masyarakat.

Lucius Karus, seorang peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), mengungkapkan bahwa peluang terjadinya serangan fajar semakin terbuka seiring dengan ketatnya persaingan antar kandidat di daerah-daerah. Pasangan calon yang memiliki ambisi besar cenderung merasa tertekan dengan angka elektabilitas yang mengkhawatirkan, sehingga kondisi ini berpotensi membuka peluang bagi terjadinya praktik politik uang. Hal ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Meskipun serangan fajar telah diatur dalam hukum sebagai bentuk pelanggaran pemilu, upaya untuk memberantas praktik ini masih menjadi tantangan. Nasib serangan fajar sulit dihapuskan sepenuhnya, meskipun ada komitmen dari Bawaslu dan aparat keamanan untuk memperketat pengawasan selama masa tenang dan hari pemilihan. Praktik-praktik tersebut tetap terjadi, terutama di tengah kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat. Banyak pemilih yang terbuka menerima uang atau barang dari pasangan calon menjelang pemungutan suara, karena kebutuhan mereka sejalan dengan keinginan para calon untuk menang.

Portal Kabar  Rosidin Mersyah: Terjerat Hukum atau Korban Politik Menjelang Pilkada?

Lucius menambahkan bahwa kontrol terhadap serangan fajar hanya mungkin dilakukan jika publik semakin sadar akan dampak negatif dari praktik tersebut terhadap integritas pemimpin yang terpilih. Kesadaran dari pemilih dapat sedikit membantu, meskipun banyak yang tidak dapat disangkal masih membutuhkan uang atau barang dari para kandidat. Dia berharap, semoga ada kesadaran di kalangan pemilih untuk menolak serangan fajar, sehingga mereka tidak terbuai oleh tawaran uang yang dapat merusak kualitas pemimpin yang terpilih.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), serangan fajar jelas dilarang, karena dapat merusak demokrasi. Beberapa pasal dalam UU Pemilu mengatur sanksi bagi mereka yang memberikan uang atau imbalan kepada pemilih. Misalnya, Pasal 515 menyatakan bahwa setiap orang yang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih dengan tujuan tertentu dapat dikenakan pidana hingga 3 tahun penjara dan denda maksimal Rp36.000.000. Sementara itu, Pasal 523 ayat (2) menyebutkan bahwa pelaksana, peserta, atau tim kampanye yang memberikan imbalan kepada pemilih pada masa tenang dapat dijatuhi pidana penjara hingga 4 tahun dan denda maksimal Rp48.000.000.

Musfi Romdoni, seorang analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), berpendapat bahwa cara paling efektif untuk mengurangi serangan fajar adalah dengan membatasi biaya kampanye masing-masing cakada, seperti yang telah dilakukan di Jepang. Dengan adanya batasan dana kampanye, kandidat akan berusaha menggunakan anggarannya dengan lebih efektif dan efisien. Namun, penerapan aturan ini di Indonesia menghadapi banyak kendala teknis, terutama terkait luas dan jumlah yang harus diawasi.

Portal Kabar  Pentingnya Menunggu Hasil Resmi KPU dalam Pilkada 2024

Musfi juga meragukan kemampuan Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam memeriksa secara riil setiap anggaran kampanye jika benar-benar dibatasi, apalagi mengingat adanya kandidat nakal yang tidak melaporkan anggaran mereka secara akurat. Dengan kompleksitas yang ada, akar permasalahan serangan fajar seharusnya ditangani melalui ideologisasi di dalam partai politik. Sebagai institusi demokrasi, partai seharusnya secara berkelanjutan menekankan kepada kadernya betapa tidak efektifnya praktik serangan fajar.

Dalam banyak survei, seperti yang ditemukan oleh Indikator, hanya 30 persen masyarakat yang memilih karena serangan fajar. Ini menunjukkan bahwa jika ada 1.000 amplop yang dibagikan, hanya 300 amplop yang berpotensi menjadi suara. Musfi menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena cakada lain juga melakukan praktik serupa, dan masyarakat cenderung melihat serangan fajar sebagai rezeki yang tidak bisa ditolak.

Fakta ini seharusnya disadari oleh para politisi. Tugas ini sebenarnya terletak pada partai politik, yang tidak hanya berfungsi sebagai tiket untuk maju di pemilu, tetapi juga sebagai institusi edukasi demokrasi, sebuah peran yang jarang dilakukan oleh partai politik.

Portal Kabar  Gunawan: AKD DPRD Memastikan Anggaran Daerah Tepat Sasaran untuk Masyarakat Bekasi

Untuk mengantisipasi terjadinya serangan fajar, Bawaslu berencana melakukan patroli pengawasan. Ini adalah salah satu upaya Bawaslu untuk menjaga ketertiban dan memastikan masyarakat tidak terjerumus dalam pelanggaran hukum menjelang hari pencoblosan. Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menyatakan bahwa patroli ini akan melibatkan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) dan aparat keamanan setempat, serta kolaborasi dengan tokoh masyarakat untuk melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada warga.

Bawaslu juga melakukan pemetaan daerah-daerah yang rawan pelanggaran. Jika ditemukan praktik serangan fajar, kasus tersebut akan dilimpahkan ke pihak kepolisian karena masuk dalam ranah pidana pemilu. Namun, pengamat politik dari The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, meragukan efektivitas patroli pengawasan ini. Dia mengungkapkan bahwa praktik serangan fajar kini tidak lagi dilakukan secara terbuka, tetapi menggunakan model uang digital, yang tentunya akan sulit diawasi.

Selain itu, Bawaslu juga dinilai belum cukup responsif terhadap temuan-temuan dari masyarakat. Pelaporan yang dilakukan sering kali dianggap tidak memenuhi syarat formil dan material, sehingga menjadi masalah dalam pengawasan dan pelaporan yang efektif.

Sumber Tirto/pram