portal kabar – Syarat pendidikan minimal SMA bagi calon anggota DPR/DPRD kembali diperiksa di Mahkamah Konstitusi (MK). Nanda Yuniza Eviani dan Muhammad Rafli Nur Rahman, dua warga negara Indonesia, merasa hak mereka terlanggar karena tidak ada kepastian hukum dan kualitas undang-undang yang baik akibat adanya Pasal 240 Ayat (1) huruf e dalam Undang-Undang Pemilu.
Pasal tersebut menyatakan bahwa calon anggota DPR dan DPRD harus berpendidikan minimal SMA atau setara. Sidang awal untuk perkara ini diadakan di MK pada Senin, 22 September 2025, dipimpin oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra.
Muhammad Rafli Nur Rahman mengatakan bahwa syarat pendidikan SMA terlalu rendah untuk tugas membuat undang-undang yang penting. Pendidikan yang rendah tidak menjamin kemampuan berpikir yang baik dalam menghasilkan undang-undang yang berkualitas. Akibatnya, undang-undang yang dihasilkan bisa jadi lemah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Mereka juga merasa bahwa sebagai warga yang mengikuti undang-undang, mereka tidak mendapatkan jaminan bahwa undang-undang yang mengatur kehidupan mereka dibuat dengan baik. Sebaliknya, mereka harus menerima undang-undang yang berkualitas rendah yang mempengaruhi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan mereka. Jadi, syarat ini bisa mengurangi kualitas demokrasi di Indonesia.
“Jika syarat jadi legislator hanya lulusan SMA, sementara profesi lain yang menginterpretasikan undang-undang seperti hakim dan pengacara harus bergelar sarjana, maka tidak logis jika pembuat undang-undang cukup lulusan SMA,” kata Nanda Yuniza Eviani.
Mereka juga merasa khawatir karena banyak undang-undang yang dihasilkan DPR/DPRD tidak konsisten dan sering dibatalkan oleh MK. Ini menunjukkan bahwa rakyat, termasuk mereka, hidup di bawah undang-undang yang lemah dan tidak melindungi hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang baik. Syarat pendidikan minimal SMA ini dianggap sebagai awal dari masalah yang membuat parlemen hanya menjadi tempat untuk popularitas, bukan tempat untuk intelektualitas dan integritas.
Oleh karena itu, mereka meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 240 Ayat (1) huruf e UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berlaku, kecuali jika diartikan bahwa syarat pendidikan minimal adalah lulusan sarjana S-1 atau yang setara.
Dalam sidang, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan bahwa para pemohon tidak menjelaskan dengan jelas tentang kedudukan hukum mereka sebagai warga negara dan pemilih terdaftar. Hakim Arsul Sani juga mengingatkan bahwa pasal yang diuji ini sudah pernah diputuskan oleh MK sebelumnya. Wakil Ketua MK, Saldi, mencatat bahwa keberhasilan parlemen bergantung pada kepercayaan publik, bukan hanya pada kemampuan pendidikan.
Sebelum sidang ditutup, Wakil Ketua MK memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonan mereka. Naskah perbaikan harus diserahkan sebelum 6 Oktober 2025, dan MK akan mengatur sidang kedua untuk mendengarkan perbaikan dari para pemohon.
pram/Sumber MKRI
