portal kabar – Dalam era teknologi yang berkembang pesat saat ini, kehadiran media sosial dan internet dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, dunia maya menawarkan beragam manfaat yang dapat meningkatkan kualitas hidup sehari-hari. Namun, di sisi lain, jika tidak digunakan dengan bijak dan tanpa pengawasan yang memadai, dampak negatifnya bisa sangat merugikan, terutama bagi anak-anak.
Sebuah studi yang dilakukan oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF) menunjukkan bahwa 89 persen anak-anak di Indonesia menghabiskan rata-rata waktu 5,4 jam sehari di internet. Dari waktu tersebut, sebagian besar digunakan untuk berinteraksi di media sosial (86,5 persen) dan menonton konten video. Sayangnya, hasil penelitian ini juga mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai dampak buruk yang dihadapi anak-anak. Sekitar 48 persen anak-anak pernah mengalami perundungan, 50,3 persen terpapar konten seksual di media sosial, dan 2 persen menerima ancaman untuk terlibat dalam aktivitas seksual. Kondisi ini semakin parah bagi anak-anak dengan disabilitas.
Meski 86,2 persen orang tua menerapkan aturan dalam penggunaan internet dan 89,2 persen percaya akan adanya bahaya di dunia maya, sayangnya pemahaman orang tua tentang aktivitas internet anak-anak masih minim. “Oleh karena itu, saya sangat mendukung perlindungan penggunaan internet, termasuk media sosial, bagi anak-anak untuk meminimalisir dampak negatifnya,” ungkap Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital CELIOS.
Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dari Australia, negara pionir yang melarang anak-anak dan remaja mengakses media sosial. Melalui undang-undang yang disahkan pada 28 November 2024, pemerintah Australia secara resmi melarang semua individu di bawah usia 16 tahun untuk menggunakan platform seperti TikTok, Instagram, dan Facebook, demi melindungi kesehatan mental serta kesejahteraan generasi muda. Pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat berujung pada denda yang mencapai 50 juta dolar Australia bagi perusahaan teknologi yang melanggar.
“Australia, sebagai negara maju, telah mengambil langkah progresif untuk membatasi penggunaan internet, khususnya bagi anak-anak di bawah umur. Sudah saatnya Indonesia mengambil kebijakan serupa,” tambah Dwi Raihan, Peneliti dari Next Policy.
Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, juga menegaskan pentingnya pembatasan usia dalam penggunaan internet atau media sosial. Dengan adanya batasan tersebut, tidak sembarang orang dapat mengakses platform sosial, mengingat risiko dampak negatif yang mengintai.
Sebuah riset oleh Indonesia Indicator mengungkapkan bahwa kekerasan digital terhadap anak, seperti perundungan, pedofilia, judi daring, dan penipuan, menjadi masalah yang semakin umum di media sosial. Riset tersebut mencatat bahwa dari Januari hingga Juli 2024, kekerasan digital terhadap anak menjadi topik hangat di kalangan netizen, dengan jumlah unggahan mencapai hampir 25 ribu.
Heru menekankan betapa pentingnya melindungi anak-anak dari berbagai kejahatan yang marak terjadi di dunia maya. Ia menyarankan agar peraturan penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur di Indonesia mengikuti langkah Australia, tetapi tetap memperhatikan mekanisme sanksi dan norma yang berlaku di masyarakat.
Enda Nasution, seorang pengamat media sosial, menambahkan bahwa untuk meniru aturan yang diterapkan di Australia, dibutuhkan kebijakan yang jelas dan didukung oleh data yang solid. Ia menegaskan bahwa setiap platform media sosial sudah menerapkan aturan usia minimum untuk pendaftaran, namun Indonesia perlu memperkuat metode verifikasi dan konsekuensi bagi pelanggar.
Menurutnya, solusi tidak hanya terbatas pada pembatasan usia, tetapi juga harus mencakup edukasi literasi digital, konseling kesehatan mental, dan pendekatan komprehensif lainnya. Nailul Huda juga sependapat bahwa pendidikan mengenai internet dan media sosial perlu dimulai sejak dini di sekolah agar anak-anak memiliki pemahaman yang baik tentang batasan yang ada.
Dari sisi pemerintah, Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengakui bahwa larangan penggunaan media sosial untuk anak-anak, seperti yang dilakukan Australia, memiliki tujuan yang mulia. Namun, ia menekankan pentingnya langkah-langkah konstruktif, termasuk penguatan keluarga dan regulasi yang tepat sebelum menerapkan kebijakan tersebut.
Sementara itu, Diyah Puspitarini dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menambahkan bahwa pembatasan penggunaan gadget atau internet untuk anak di bawah umur telah dibahas dengan Kementerian Komunikasi dan Digital. Namun, ini memerlukan keterlibatan berbagai pihak mengingat gadget juga berperan penting dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, perlindungan anak di ranah daring harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan, melibatkan semua elemen masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan generasi mendatang dapat menjelajahi dunia digital dengan aman, penuh pengetahuan, dan terhindar dari berbagai ancaman yang mengintai. Mari bersama-sama menciptakan dunia maya yang lebih aman untuk anak-anak kita.
pram/sumber Tirto
