portal kabar – Dalam beberapa tahun terakhir, Kabupaten Bekasi telah menarik perhatian publik terkait penegakan Peraturan Daerah (Perda) yang berhubungan dengan sektor pariwisata. Salah satu tokoh yang aktif mendukung gerakan H. Oding dalam upaya penegakan perda adalah Amrul Moestofa. Ia mengungkapkan bahwa terdapat ketidakcocokan antara Perda yang berlaku dan kenyataan di lapangan, terutama mengenai keberadaan tempat hiburan malam yang seharusnya dilarang.
Perda No. 3 Tahun 2016 tentang Pariwisata di Kabupaten Bekasi, khususnya Pasal 47, dengan tegas melarang keberadaan bar, diskotek, karaoke, panti pijat, live musik, dan klub malam. Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga ketertiban umum dan menciptakan suasana yang kondusif bagi masyarakat. Namun, seiring waktu, muncul Perda No. 8 Tahun 2023 yang tampaknya bertentangan dengan peraturan sebelumnya. Pasal 19 dan 24 dalam Perda baru ini justru memperbolehkan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dari tempat-tempat hiburan yang sebelumnya dilarang.
Amrul Moestofa mengungkapkan bahwa adanya dua regulasi yang saling bertentangan ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat serta pelaku usaha. “Bagaimana mungkin kita melarang sesuatu tetapi pada saat yang sama memungut pajak dari tempat yang seharusnya tidak ada?” ujarnya dalam sebuah diskusi publik. Ia menekankan pentingnya konsistensi dalam penegakan hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh oknum tertentu.
“Apalagi jika ada pengakuan tidak adanya pungutan pajak, bertambah jelas kegelisahan publik selama ini. Itu perda untuk kantong sendiri atau untuk PAD Kabupaten Bekasi?,” tanya Amrul.
Gerakan H. Oding, yang dipelopori oleh sejumlah aktivis dan masyarakat sipil, bertujuan untuk mendorong pemerintah daerah agar lebih tegas dalam menegakkan perda yang ada. Amrul Moestofa menjadi salah satu pendukung utama gerakan ini, dengan harapan agar pemerintah daerah tidak terjerumus dalam praktik korupsi yang merugikan masyarakat. “Kami ingin pemerintah daerah kembali ke jalur yang benar, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan,” tambahnya.
Penegakan perda yang tidak konsisten dapat memberikan dampak negatif terhadap masyarakat. Tempat-tempat hiburan yang seharusnya ditutup malah beroperasi dengan bebas, menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi warga. Selain itu, praktik ini juga berpotensi merugikan pelaku usaha yang mematuhi aturan. “Kami ingin semua pelaku usaha diperlakukan dengan adil. Jika ada yang melanggar, harus ada sanksi tegas,” tegas Amrul.
Amrul, yang pernah menempuh pendidikan jurusan Terknik Lingkungan di ITB, bersama gerakan H. Oding terus berjuang untuk memastikan bahwa Perda yang ada ditegakkan dengan konsisten. Ia mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengawasi dan melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi. Dengan dukungan masyarakat, diharapkan pemerintah daerah Kabupaten Bekasi dapat kembali menjalankan fungsinya dengan baik, demi kesejahteraan dan ketertiban masyarakat.
bram ananthaku
