Dosen dan Mahasiswa UII Gugat Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR ke MK, Dinilai Tak Proporsional dan Langgar Konstitusi

portal kabar – Dua dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) bersama lima mahasiswanya mengajukan permohonan uji konstitusionalitas tunjangan pensiun seumur hidup anggota DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena pemberian dana pensiun dilakukan secara tidak proporsional dan mencederai hak konstitusional masyarakat.

“Pemberian dana pensiun dilakukan secara tidak proporsional mencederai hak konstitusional para pemohon yang melanggar konstitusi,” kata salah satu pemohon, M. Farhan Kamase, mengutip Antara, Selasa (28/10/2025).

Permohonan ini diajukan oleh dua dosen FH UII, Ahmad Sadzali dan Anang Zubaidy, serta lima mahasiswa bernama M. Farhan Kamase, Alvin Daun, Zidan Patra Yudistira, Rayhan Madani, dan M. Fajar Rizki. Permohonan itu tercatat sebagai Perkara Nomor 191/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi.

Enam Pasal UU 12/1980 Dipersoalkan

Para pemohon mempersoalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.

Pasal-pasal yang digugat antara lain Pasal 12, Pasal 16 Ayat (1) huruf a, Pasal 17 Ayat (1), Pasal 18 Ayat (1) huruf a, Pasal 19 Ayat (1) dan (2) UU 12/1980.

Menurut mereka, APBN harus didistribusikan secara proporsional dan memprioritaskan sektor-sektor produktif, khususnya yang menyangkut hak-hak dasar warga negara. Namun, bagi para pemohon, pasal-pasal yang diuji justru menyebabkan penyaluran APBN menjadi tidak efektif dan proporsional.

“Pengalokasian APBN terhadap dana pensiun seumur hidup lembaga tertinggi atau tinggi negara tidaklah proporsional jika dilihat dari sisi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat umum yang di dalamnya, termasuk para pemohon,” ucap Alvin Daun.

Dana APBN Seharusnya untuk Hak Dasar Rakyat

Para pemohon menyatakan dana pensiun anggota DPR yang berasal dari APBN semestinya dapat digunakan untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, termasuk peningkatan kualitas pendidikan hingga kesehatan.

Mereka menyebut tunjangan pensiun seumur hidup bagi lembaga tertinggi atau tinggi negara tidak sejalan dengan prinsip utilitarianisme atau kemanfaatan karena hanya mementingkan kepentingan segelintir orang yang pada umumnya telah berkecukupan.

Portal Kabar  Skandal Suap PAW DPR: Siapa Saja yang Terlibat dalam Kasus Hasto dan Donny?

Dalam permohonannya, para pemohon menyoroti besaran penghasilan bulanan anggota DPR. Jika dirata-ratakan, menurut mereka, besaran uang yang diterima per bulannya hampir 42 kali lipat upah minimum regional Jakarta.

“Dengan begitu banyaknya penghasilan yang didapatkan oleh DPR RI selama menjabat, ditambah lagi dengan dana pensiun yang diberikan, sepanjang dimaknai ‘seumur hidup’, menjadikan tidak seimbangnya antara hak individu dan kepentingan yang lebih besar, yaitu kesejahteraan masyarakat,” kata Rayhan Madani.

Ketentuan Pensiun Dinilai Kontradiktif

Para pemohon juga menyoroti adanya kontradiksi dalam pengaturan pensiun anggota DPR. Pasal 16 Ayat (1) huruf a mengatur bahwa pembayaran pensiun terhadap pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara, dalam hal ini DPR, dihentikan pada saat yang bersangkutan meninggal dunia.

Namun, Pasal 17 Ayat (1) mengatur jika penerimanya meninggal dunia, pembayaran pensiun diberikan kepada janda atau duda yang sah dari penerima pensiun tersebut. Ketentuan ini, menurut para pemohon, menimbulkan kontradiksi yang menyebabkan ketidakpastian hukum.

“Ini menciptakan ketidakpastian hukum. Di satu sisi pensiun dihentikan saat meninggal, tapi di sisi lain bisa diwariskan kepada pasangan,” ungkap salah satu pemohon.

Usulan Adopsi Sistem Pensiun Korea, Jepang, dan Singapura

Pemohon juga menyoroti skema pemberian dana pensiun di Korea Selatan, Jepang, dan Singapura yang dipotong dari gaji pokok selama menjabat sebagai pimpinan ataupun anggota lembaga tertinggi/tinggi negara.

Menurut para dosen dan mahasiswa hukum ini, Indonesia seharusnya juga mengadopsi mekanisme penyelenggaraan dana pensiun yang serupa dengan ketiga negara dimaksud. Terlebih, mengingat masih banyaknya sektor lain yang harus diprioritaskan oleh APBN.

“Negara-negara maju seperti Korea, Jepang, dan Singapura menerapkan sistem pemotongan gaji untuk dana pensiun. Ini lebih adil dan tidak membebani APBN secara berlebihan,” jelas salah satu pemohon.

Portal Kabar  Politik di Balik Makan Malam: Prabowo dan RK, Apa Pesannya untuk Publik

Pokok Permohonan ke MK

Pada bagian pokok permohonan (petitum), para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 12 Ayat (1) dan (2) UU 12/1980 inkonstitusional secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang termasuk pejabat hasil pemilihan umum.

Mereka juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17 Ayat (1), Pasal 18 Ayat (1) huruf a, Pasal 19 Ayat (1) dan (2) UU 12/1980 inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa “meninggal dunia” dimaknai dengan “seumur hidup”.

Hakim MK Ingatkan Potensi Permohonan Kabur

Dalam sesi nasihat, hakim konstitusi mempertanyakan pokok permohonan para pemohon. Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengingatkan agar petitum yang diajukan tidak kontradiktif dengan alasan permohonan (posita).

“Satu sisi Anda tidak suka kalau itu (pensiun) diberikan seumur hidup, tapi di sisi lain di petitum Saudara, pengin memberi tafsir meninggal itu ditafsirkan seumur hidup. Hati-hati ini bisa masuk kategori permohonan yang kabur,” ucap Guntur.

Sesuai hukum acara di MK, para pemohon diberikan waktu selama 14 hari sejak sidang perdana digelar untuk menyempurnakan permohonannya. Berkas perbaikan permohonan untuk perkara ini diterima MK selambat-lambatnya pada Senin (10/11/2025).

Bukan Gugatan Pertama soal Pensiun DPR

Perkara uji materi mengenai tunjangan pensiun anggota DPR sebelumnya juga diajukan oleh psikolog Lita Linggayani Gading dan mahasiswa sekaligus advokat Syamsul Jahidin dalam Perkara Nomor 176/PUU-XXIII/2025.

Keduanya menguji Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat (1) UU 12/1980. Menurut mereka, ketentuan-ketentuan itu menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan hukum karena memungkinkan anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun memperoleh pensiun seumur hidup dan bahkan bisa diwariskan.

Melalui permohonan tersebut, Lita dan Syamsul meminta MK mencabut ketentuan dalam UU 12/1980 yang memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota DPR.

Adanya dua gugatan serupa dalam waktu berdekatan menunjukkan semakin kuatnya desakan publik agar sistem pensiun anggota DPR dikaji ulang dan disesuaikan dengan prinsip keadilan sosial serta efisiensi penggunaan anggaran negara.

Portal Kabar  Perda dan Anggaran: Memahami Alokasi untuk Pembangunan Daerah

Polemik Pensiun Anggota DPR

Isu pensiun seumur hidup anggota DPR telah lama menjadi polemik di kalangan publik. Banyak pihak yang menilai bahwa pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR yang hanya menjabat selama lima tahun tidak sebanding dengan kondisi kesejahteraan masyarakat luas.

Kritik juga muncul terkait besaran tunjangan dan fasilitas yang diterima anggota DPR selama menjabat. Data menunjukkan bahwa penghasilan bulanan anggota DPR mencapai puluhan kali lipat dari upah minimum regional, belum termasuk berbagai tunjangan dan fasilitas lainnya.

Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa pensiun tersebut merupakan bentuk apresiasi negara terhadap pengabdian anggota DPR dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Namun, argumentasi ini terus diperdebatkan mengingat masih banyaknya persoalan kesejahteraan rakyat yang belum terselesaikan.

Mahkamah Konstitusi Akan Gelar Sidang Lanjutan

Mahkamah Konstitusi dijadwalkan akan menggelar sidang lanjutan untuk perkara ini setelah para pemohon menyempurnakan berkas permohonannya. Sidang berikutnya akan membahas kelayakan formal dan materiil dari permohonan yang diajukan.

Keputusan MK dalam perkara ini akan menjadi perhatian publik mengingat dampaknya yang luas terhadap sistem pensiun pejabat negara dan efisiensi penggunaan APBN. Jika MK mengabulkan permohonan, hal ini dapat membuka peluang reformasi sistem pensiun bagi seluruh pejabat negara di Indonesia.

Para pengamat hukum tata negara menyambut baik inisiatif para dosen dan mahasiswa FH UII dalam mengajukan gugatan ini. Mereka menilai hal ini menunjukkan kepedulian kalangan akademisi terhadap isu-isu konstitusional yang berdampak pada kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, DPR RI belum memberikan tanggapan resmi terkait gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi tersebut.


Sumber: Antara, Mahkamah Konstitusi
Editor: pram